Selamat Datang di Blog Putra Jagad pasundan DPK Ciputat Timur Tangerang Selatan Banten

Pasundan asri dan berseri

>> Sabtu, 16 Mei 2009





ANGIN di SEBUAH MUSIM


“Aku jalan dulu ya, Nia, Tika” kata gadis itu seraya melambaikan tangan kepada kedua temannya.

“Kamu mau ke mana, Norie. Nggak makan bareng dulu?” Tanya Nia mencoba menahan langkahnya. Tetapi gadis itu hanya menggeleng pelan sambil melemparkan senyum khasnya. Kemudian ia lanjutkan langkahnya menuruni tangga gedung tempat peribadatan agama Hindu. Karena sejak pagi ia memang di tempat itu untuk meliput acara peringatan hari Pagar Besi milik umat Hindu Indonesia-Hongkong.



Ketika ia tiba di sebuah Halte, tiba-tiba ia membalikkan langkah kakinya. Dan berjalan menuju sebuah taman yang berbatasan dengan jalan raya. Dibawanya kedua kakinya menapak pelan-pelan di antara hamparan bunga-bunga kecil. Beraneka warna bunga itu bermekaran dan tertata rapi di pinggir jalan setapak di sepanjang taman. Ia hentikan langkahnya dan berjongkok menatap setangkai kembang kecil yang menguncup. Seulas senyum tipis tersungging dari bibir tipisnya. Agak lama ia menatap lekat kembang berwarna putih bersih itu. Ia ingin menyentuhnya, tapi sebuah papan peringatan terpampang jelas, “Don’t Touch” Gadis itupun mengurungkan niatnya.



Kembali ia bangkit dan berjalan pelan menyusuri lekuk-lekuk taman. Matanya terus saja menatap kembang-kembang yang bermekaran dan dihantui lebah-lebah kecil. Terkadang ia menebarkan pandangannya ke atas. Ke arah rerimbunan pohon yang juga terrawat rapi. Ia tak peduli meskipun banyak manusia berlalu lalang di sekelilingnya. Mungkin orang-orang itu pun seperti dirinya. Ingin menikmati suasana taman yang sejuk. Dan melepaskan penat sejenak dari hiruk pikuk kesibukan. Apa lagi orang-orang itu tentu sedang menikmati hari libur. Tidak seperti dirinya, tak pernah memiliki waktu libur yang pasti. Bahkan hari minggu pun, ketika semua orang berlomba bangun siang. Ia harus bangun pagi-pagi untuk nguber berita. Dan ia tahu betul resiko dari pekerjaanya itu sejak job itu menawarinya untuk ia jalankan. Dan ia menikmati pekerjaan seperti itu.



Norie menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon rindang. Dan ditariknya nafas dalam-dalam. Ia ingin mengusir rasa perih yang sebenarnya tengah ia rasakan. Rasa sunyi yang menelusup pelan di relung sanubarinya. Ia ingin menetralisir perasaan itu dengan membawanya menyusuri suasana asri di taman itu. Betapa ia ingin membuat hatinya kembali riang seperti biasa. Seperti ketika ia belum mengenal sosok Yanuar. Dan hingga ketika laki-laki itu masih bersamanya. Norie menarik kembali nafasnya dalam, kemudian ia lepaskan pelan. Dengan sedikit malas ia hempaskan pantatnya untuk duduk di atas sebuah bangku kayu di bawah pohon. Dibiarkan angin semilir menyapu wajahnya yang tanpa Make Up. Sejenak ia rasakan angin sejuk menjalari pori-pori kulitnya. Membelai resah hatinya, hingga menimbulkan sedikit kenyamanan.



Gadis itu mendongak dan manatap langit siang di atas. Lagi-lagi bibirnya tersenyum. Petak-petak biru membentuk bentangan mega tak beraturan nampak di matanya. Matahari yang biasanya bersinar garang, hari itu terasa bersahabat. Norie pun mengamati perubahan cuaca itu. Dan telah seminggu cuaca panas yang menyengat Hongkong mulai menurun. Berganti sejuk terhembus oleh angin dan hujan yang turun akhir-akhir ini. Mungkin musim akan segera berganti pikirnya sembari tersenyum getir. Dan kegelisahan itu pulalah yang menaungi batinnya. Tentang sebuah kenyataan yang harus ia hadapi. Seminggu sudah ia menangkap firasat, bahwa ia harus melepaskan sebuah musim dari hari-harinya. Seiring dengan kepergian Yanuar dari hari-harinya. Meski mungkin ia masih bisa berkomunikasi dengan laki-laki itu, tapi kedekatan itu haruslah berubah. Yanuar harus tetap kuliah di Negara itu pula. Dan di situlah ia mengenal sosok smart yang ia kagumi itu. Tapi, harinya harus berganti, atau bahkan kembali ke masa sebelum ia bertemu dengan laki-laki yang ia sayangi.



Sebelum kenyataan itu benar-benar menyapanya, Norie telah tahu. Bahwa Yanuar tak akan bisa dimilikinya. Karena laki-laki itu terlampau tinggi untuk ia jangkau. Ia sadar, siapa dirinya jika dibanding dengan keberadaan kekasihnya itu. Bahkan Norie telah persiapkan diri sejak awal jika suatu saat Yanuar harus meninggalkan dirinya. Karena sejak awal pula laki-laki itu telah berterus terang, bahwa orang tuanya telah menjodohkannya dengan seorang gadis pilihan. Namun hati keduanya telah terlanjur tumbuh benih-benih rasa sayang. Yang kemudian membawa kebersamaan indah, dan mewarnai hari-hari mereka. Meskipun sepasang hati itu telah meyadari, bahwa dinding tebal pasti akan memisahkan mereka berdua. Toh ketika itu hati keduanya tak ingin berjauhan.



“Baiklah… aku akan coba untuk mengerem diri untukmu” sergah Norie ketika ia tahu bahwa Yanuar telah dijodohkan. Pagi itu sebuah kabar keterusterangan telah ia terima. Dan ia mencoba untuk tabah meski hatinya terasa perih. Dengan genangan air mata ia katakan, bahwa ia siap menerima kekalahan itu. Dan jika memang Yanuar inginkan perpisahan saat itu juga, ia akan pergi.



“Jangan ngilang, aku nggak bisa” cegah laki-laki itu di sela perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Yanuar sama sekali belum siap jika gadisnya menjauh secepat itu.

“Yan maunya gimana?” kejar Norie tak kalah gundah.

“Gua nggak tahu, tapi gua nggak ingin lo ngilang” sambung Yanuar lagi membuat hati gadisnya luluh. Suasana hening sejenak. Keduanya sibuk menguasai perasaan masing-masing.

“Yan… kamu knapa?” Tanya Norie membuka percakapan setelah keheningan. Ia tak bisa diam melihat kekasihnya itu dalam kegundahan.

“Dengerin lagu” sahut Yanuar singkat menahan perasaan.

“Lagu apa?” Tanya Norie mengusir beku.

“Slank, Aku Tak Bisa” jelas laki-laki itu pelan.



Norie manarik nafas pelan. Sesungguhnya ia pun tak inginkan perpisahan secepat itu. Tapi apa boleh buat. Kekasihnya itu tak mampu menolak keinginan orang tuanya. Norie salut pada bakti laki-laki itu meski di sela batinnya terasa teriris. Tapi ia sadar, bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Dan meski Yanuar benar-benar bisa mencintainya pun, kedua orang tua laki-laki itu belum tentu menerimanya.



“Ok, Yan… aku akan coba untuk menjauh sedikit demi sedikit. Biarlah pelukan semalam untuk yang terakhir kali. Semoga gadis itu terbaik bagimu. Dan akan membawamu menuju kemenangan di dalam kehidupanmu.” Berkata begitu semakin deraslah air mata mengaliri pipinya. Lehernya tercekat sakit. Hatinya tiba-tiba kosong dan hampa. Ia rasakan kehilangan yang teramat sangat. Meski ia belum lama bersama kekasihnya itu, tapi rasa sayang yang ia miliki telah terpahat. Apa yang diberikan laki-laki itu telah membuat harinya kembali berseri untuk beberapa saat.



“Gua bingung…” kejar Yanuar seakan tak rela melepaskan gadisnya itu berlalu.

“Maumu bagaimana?” ulang Norie semakin perih.

“Gua nggak tahu, tapi gua ngga ingin semua berubah” pinta laki-laki itu hampa.

“Ok… aku akan menyayangmu seperti kemarin-kemarin jika itu maumu. Aku akan mengantar tidurmu dengan sebuah kecupan di keningmu. Seperti aku mengantarmu untuk belajar dengan sebuah kecupan di punggung tanganmu. Aku masih sanggup membarikannya” kata Norie di sela derai air matanya.



“Tapi semua pasti akan terasa beda, dan gua nggak ingin semua berubah” kalimat yang terulang itu membuat batin Norie semakin tersayat.

Ia merasakan, betapa kekasihnya itu butuh kehadirannya. Seperti ia butuh kehadiran laki-laki itu sebagai penyemangat hidupnya yang lama beku. Ia tak bisa menahan diri ketika Yanuar beberapa kali mengatakan kerinduannya di pagi itu. Kerinduan yang semakin terasa mencekam ketika kabar kenyataan harus Norie terima. Dan kerinduan yang tak terbendung ketika Norie terpaksa memutuskan untuk menjauh dari orang yang dikasihinya itu.



“Gua kangen…” desah Yanuar kian gelisah ketika untaian kalimat berpisah mengalir dari bibir Norie. Ia benar-benar tak ingin gadis itu menjauh darinya saat itu juga. Dipeluknya tubuh gadis itu erat dengan penuh kerinduan. Tak ada kalimat yang menghambur lagi ketika itu. Dua hati itu pun kembali menyatu di pagi yang berembun.



Ketika bunga-bunga mulai mekar kembali. Kabar peringatan untuk menjauhi Yanuar kembali menghantam nurani. Membuat Norie merasakan kembali nyeri yang beberapa lama menghilang. Kali itu, batinnya bergemuruh bagai alunan ombak. Bergulung-gulung menghempas kebahagiaanya. Ia coba bertanya pada sepi, pada pekat malam dan pada angin yang berhembus bisu. Apakah ia harus lepaskan kekasihnya? Jika jawabnya “iya” adakah cara yang tepat agar tak melukai kedua hati itu? Seribu tanya menyesaki rongga dadanya. Menghimpit dan mencekik batinnya. Ia butuh waktu beberapa lama untuk memutuskan semuanya. Agar ia mampu mengambil sikap yang bijaksana. Agar kekasihnya itu tak terluka. Dan ia pun akan bisa menipu hatinya. Meski ia tahu, adalah suatu hal yang tak mungkin untuk menepis rasa sayangnya pada laki-laki itu.



“Musim mungkin akan segera berganti…, hopefully you remind that. Trully.. i don't wanna see you down. Once again... i'm sorry deeply from inside my heart, that i must say it. And thank you for all the care and love” urai Yanuar suatu malam. Dan gadis itu hanya diam. Ia nikmati saja kata demi kata itu mengalir dari bibir kekasihnya. Norie nimati, seperti apa kalimat itu menghadirkan lagi kehampaan di relung hatinya. Ia telah siap dan harus siap untuk menerima hal itu. Meski ia tak mampu berbohong, bahwa ia merasa kehilangan.



Ketika ia menutup wajahnya dengan sebuah do’a di suatu malam berikutnya, ia mantapkan diri akan mencoba untuk menahan diri. Sedikit demi sedikit dari kebersamaan dengan kekasihnya. Entah, meski hatinya luka dan laki-laki itu pun sulit menerima, ia akan mencobanya. Baginya menyayangi tak harus selalu memeluknya. Namun sayang baginya adalah memberi tanpa mengharap. Memberi kemerdekaan pada kekasihnya itulah yang ingin dilakukannya. Di dalam hati ia pahatkan semua kenangan dan rasa sayangnya dalam-dalam. Dikemasnya dalam sebuah bingkai indah. Dan disimpannya rapi dalam sejarah hidupnya. Dan itu yang akan ia berikan untuk Yanuar.



Tiba-tiba Handphone yang setia menggantung di lehernya bergetar. Sejenak ia tergagap dan lamunannya buyar seketika. Ditatapnya monitor Handphone itu sejenak, seolah ia masih mencoba mengembalikan ingatannya pada kenyataan. Bahwa ia baru saja larut dengan perasaanya.



“Hallo… “ sapanya masih dengan pikiran yang tak menentu.

“Rie, kamu di mana? Ada acara Istighosa di masjid. Kamu datang ngeliput nggak?” Tanya suara di seberang yang ternyata rekan kerjanya.

“Nggak lah, aku lagi males. Kamu aja yang datang yah” pinta Noria pelan.

“Hai, kamu kenapa? Ada tulisan yang perlu kamu klarifikasi loh. Di dua berita edisi lalu sama yang baru ini, ada dua nama organisasi yang tertukar. Itu kamu yang nulis beritanya kan?” jelas suara itu lagi panjang lebar.

“Ah masa? Aku belum baca edisi baru” sergah Norie seraya bangkit dari duduknya.



Ia menyambar tas rensel hitam yang semula diletakkan di sebelah tempat duduknya. Kemudian ia kenakan kedua sepatu kets yang setia menemani perjalanannya. Ketika ia hendak melangkah pergi, sekuntum bunga jatuh menimpa pundaknya. Dipungutnya bunga itu. Diciumnya sejenak, hem… sudah layu rupanya gumamnya seolah pada dirinya sendiri. Kemudian ia genggam bunga itu dan dibawanya berlari menuju kantor redaksi media tempat ia bekerja. Sementara desau angin masih menggoda di sela langkah cepat kakinya. Angin musim yang hampir berlalu


Persembahan untuk seorang Kakak, Sahabat sekaligus teman bagiku. Yang telah memberikan begitu banyak inspirasi untuk tulisan-tulisanku. Entah berupa puisi atau yang lainnya. Maaf jika tulisan ini masih jauh dari sempurna. Boleh protes koq. Suatu saat direvisi lagi dech. Untuk saat ini baru bisa segitu. THANKS FOR INSPIRATION.

0 komentar:

Bangkit Wibawa Bhakti

  © Copyright by Putra Jagad Pasundan Ciputat Timur ,Tangerang Selatan 2008

Back to TOP